rec.or.id
Pendahuluan
Dewasa ini banyak
orang yang berpikir dengan sungguh-sungguh pasti pernah menhadapi
masalah asal mula manusia. Sewaktu ia
menoleh ke sejarah masa lampau, ia melihat bahwa manusia yang ada sekarang ini
telah lahir dari manusia yang telah lewat proses keturunan alamiah selama
ribuan tahun. Dalam meneliti asal usul
manusia sesorang yang sudah percaya akan berhadapan dengan persoalan
dasar: adakah manusia dibentuk dari
tangan Allah, dan mewariskan sifat-sifat Allah sendiri, atau manusia itu
berkembang melalui proses alamiah?.
Golongan evolusionis yang berhaluan teistis mengajarkan bahwa manusia
itu hasil dari proses evulusi alamiah dari suatu bentuk kehidupan yang lebih
sederhana.[1]
Pembahasan
Pandangan Evalusioner
Tentang Asal Usul Manusia
Teori
evolusi tidaklah selalu dinyatakan dalam bentuk yang sama. teori ini kadang-kadang disebutkan
seolah-olah manusia adalah keturunan langsung dari salah satu spesies manusia
kera yang sekarang ini ada dan kemudia seolah-olah manusia dan kera yang lebih
tinggi mempunyai nenek moyang yang sama.[2] pandangan evolusi biologis tentang manusia , menganggap
manusia itu sebagai binatang menyusui yant cerdas, yang pertumbuhannya
berlangsung menurut evolusi, dari tingkat yang rendah kepada tingkat yang lebih
tinggi. Darwin dan Spencer, dua orang plapor pandangan
evolusi biologis tentang manusia, yang dianggap sebagai hukum utama evolusi
ialah “struggle for life” dan “survival of the fittest”: “perjuangan untuk mempertahankan hidup” dan
“yang kuat akan dapat bertahan”.[3]
Darwin
dalam usahanya untuk membuktikan keturunan manusia dari spesies kera anthropoid
bersandar pada (1) argumen akan kesamaan struktur antara manusia dan hewan yang
tingkatannya tinggi; argumen embriologis; dan (3) argumen dari organ-oragan
yang berkembang. Atas tiga argumen ini kemudian ditambahkan lagi: (4) argumen
yang diturunkan melalui tes dara dan, (5) argumen paleontologis. Akan tetapi tidak ada satu pun argumen yang
cocok untuk membuktikan bahwa manusia hasil dari evolusi dari hewan.[4]
Memang.Pandangan
evolusi biologis ini menyangkal Allah dan pernyataan-Nya.Disini penyelidikan
ilmiah menjadi ukuran untuk menentukan yang baik dan yang jahat. Lagipula disini penyelidikan ilmiah itu
terbatas kepada penyelidikan biologis, secara kimiawi dan fisik, seakan-akan
manusia hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis. Disini derajat manusia direndahkan menjadi
setaraf dengan binatang cerdas, yang tidak bertanggung jawab kepada Allah.[5]
Penjelasan Alkitab Tentang
Asal Usul Manusia
Alkitab
mengatakan dengan jelas bahwa manusia bukan sebuah hasil dari proses evolusi,
tetapi di dalam kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal
mengenai kejadian manusia “maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka” (27). Pernyataan,
bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar Allah (di dalam bahasa Ibrani: salem), (di dalam bahasa Yunani: eikon), dan seperti rupa Allah (di dalam
bahasa Ibrani: demut), dan (di dalam
bahasa Yunani: homoiotes).[6]
Kata
“gambar” dan “rupa” dipakai secara
bersinonim dan dipakai saling bergantian dan juga demikian tidak menunjuk dua
hal yang berbeda.Dalam Kej 1:26 kedua kata ini dipakai, tetapi dalam ayat 27
hanya kata pertama yang dipakai.Kenyataan ini cukup untuk mendukung keseluruhan
ide ini.Dalam Kej 5:1 hanya kata “rupa” yang dipakai, tetapi dalam ayat 3 kedua
kata itu mencul lagi.Kej 9:6 hanya memakai kata “gambar” untuk menunjukan
keseluruhan.[7]
Salah
satu teolog membedakan arti dari kata
“gambar” dan “rupa”. Agustinus berkata
bahwa gambar mengacu kepada cognitio
veritatis dan rupa mengacu kepada amor
virtutis, yang pertama berhubungan dengan intelek dan yang kedua
berhubungan dengan aspek moral. Tetapi
istilah gambar dalam bahasa Ibrani tselem
dan rupa Demuth- dalam bahasa
inggris disebut sebagai imagedan lakeness mengandung pengertian
Diciptakan menerut “gambar” dan “rupa” Allah berarti bahwa manusia benar-benar
diciptakan mirip dengan Tuhan.[8]
Itu
sebabnya penggunaan kedua istilah itu kadang disebut kedua-duanya, Kejadian
1:26, tetapi juga sering disebut hanya salah satu dari keduanya misalnya pada
Kejadian 1:27 hanya disebut kata gambar, dalam Kejadian 5:1 hanya “rupa” yang
muncul.[9] Namun hal ini tidak mengurangi sesuatu
apapun, dan malah membuktikan bahwa
manusia memang segambar dan serupa dengan Allah.
Manusia
secara umum diciptakan segambar dan serupa dengan Allah Tritunggal (Kej 1:26). Gambar dan rupa dalam pengertian luas
memiliki arti bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang berpribadi.Artinya,
karena Allah adalah berpribadi maka manusia juga bersifat pribadi. Keperbadian manusia mencankup adanya pikiran,
emosi, kehendak dan juga kesadaran dan juga kesadaran akan diri. Oleh karena dianugerahi sifat-sifat seperti
ini, maka manusia memiliki begitu banyak potensi di dalam dirinya. Terdapat kemiripan secara analogi dengan apa
yang ada dalam diri Tuhan, misalnya potensi untuk mencipta, potensi untuk
menikmati hasil ciptaan, dan juga menikmati hal-hal yang agung, mulia, dan
indah.[10]
Dalam
Kejadian 1:26-30 Allah menciptakan manusia dalam gambar-Nya dan memberikannya
kuasa atas tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Dalam Kej 2:15 Allah menempatkan manusia
dalam taman Eden “untuk mengusahakan dan memelihara.” Seluruh prikop ini memberikan manusia
tanggung jawab dan hak-hak yang penting dalam relasi dengan Allah dan tatanan
yang diciptakan.Pertama, manusia diciptakan dalam gambar Allah.Dialah seorang
ciptaan, bukan pencipta, maka lebih rendah dari pada Allah.pada saat yang sama,
karena diciptakan dalam gambar Allah, manusia seperti Allah dalam berbagai
hal. Kejadian 1:26-27 mengundang pembaca
untuk memikirkan mengenai hal-hal dimana manusia adalah seperti Allah. manusia adalah seorang pribadi, dapat
berpikir, berbicara, dan mendengar, dan berespons kepada Allah dalam
penyembahan.[11]Allah
secara jelas menunjukan superioritas manusia dibandingkan binatang-binatang dan
tumbuh-tumbuhan.
Kejatuhan Manusia: Sifat
Serta Akibat-Akibat Dosa
Berbagai
dampak dosa yang pertama bersifat langsung, luas jangkauannya, dan
menakutkan. Sebelum kejatuhan, Adam dan
Allah bersatu satu sama lain; setelah ketajatuhan, persekutuan itu putus. Manusia pertama mulai menyadari ketidak senangan
Allah terhadap mereka; mereka telah
melanggar perintah Allah yang tegas untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan
tentang yang baik dan jahat, oleh karena itu mereka bersalah. Mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan
kedudukan mereka di hadapan Allah dan bahwa kini mereka berada di bawah
penghukuman-Nya.[12]
Karena
manusia telah jatuh dan terus-menerus berada dalam pemberontakan terhadap
Allah, maka hasil-hasil aktivitas manusia menderita kerusakan.Kerusakan mungkin
tidak kentara tetapi serius, seperti kerusakan yang terjadi ketika para ilmuwan
melakukan penyembahan berhala dengan menerima gagasan hukum nonpersonal yang
otonom dan berdiri sendiri, untuk menggantikan Allah Alkitab, yang firman-Nya
adalah hukum.[13]
Akibat
dari pelanggaran yang telah mereka perbuat.Mereka merasa malu, hina, dan
tercemar.Ada sesuatu yang harus mereka semunyikan.Mereka telanjang dan tidak
dapat tampil di hadapan Allah dalam keadaan yang keji. Mereka tidak hanya malu tampil di hadapan Allah,
tetapi mereka juga malu saling berhadap-hadapan satu sama lain. Secara moral mereka telah hancur.Allah telah
berfirman kepada Adam “pada hari engkau memakannya, pasti engakau akan mati”
(Kej 2:17).Kematian itu pertama-tama kematian rohani, yaitu terpisah jiwa dari
Allah[14].kamatian yang kedua
adalah kematian jasmani yaitu tubuh atau fisik manusia. Dalam keadaan manusia yang telah jatuh
didalam dosa, maka Allah memutuskan bahwa seluruh manusia adalah orang berdosa
di dalam Adam, sama halnya dengan Ia
memutuskan bahwa semua orang percaya menjadi benar dalam Kristus Yesus.
Kesimpulan
Di dalam kejatuhan
manusia.Manusia telah kehilangan relasi dengan Allah. Namun waupun manusia telah jatuh dalam dosa, dan telah rusak secara moral
manusia masih mewariskan rupa dan gambar Allah itu secara intelektual, manusia
masih memiliki sifat-sifat Allah yaitu:
Mempunyai kehendak, pemikiran, perasaan, serta keinginan.Kejatuhan
manusia dalam dosa yang telah menjadikan manusia mengalami kerusakan total, dan
kehilangan gambar dan rupa Allah. Dalam
artinya bahwa manusia telah rusakan
secara yang maksimal. Rasul
Paulus menuliskan dalam “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah
kehilangan kemulian Allah,”. Namun dalam
hal ini kerusakan total tidak berarti hilangnya kebaikan relatif.
Katekismus memberikan sebuah
difinisi yang jelas tentang kebaikan.Katekismus menyatakan bahwa “hanya
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dari iman yang sejati, sesuai dengan hukum
Allah, dan bagi kemulianNya.” Jadi dalam
hal kerusakan total ini manusia masih memiliki watak atau sifat Allah yang
masih diwarisi oleh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Berkhof,
Louis. Dokterin Manusia. Surabaya: Momentum. 2015.
Berkhof,
Louis, Doktrin Allah. Surabaya: Momentum. 2011.
Matalu,
Muriwali Yanto. Dogmatika Kristen. Malang: Gerakan Kebangunan Reformasi. 2017.
Sabdono,Erastus. Gambar
Diri. Jakarta: Rehobot Literatur 2017.
Thiessen,
Hendry C.. Teologi Sistematika. Malang.
Gandum Mas. 1992.
Poythress,
Vern S.. Menembus Sains. Surabaya: Momentum. 2013.
Palmer,
Edwin H.
. Lima Pokok Calvinisme. Surabaya: Momentum. 2005.
[2]Louis Berkhof. doktrin manusia. (Suyabaya: Momentum. 2015).
Hlm. 9.
[3]J verkuyl. Etika Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia). Hlm. 28-29.
[5] J verkuyl. Etika Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia). Hlm. 29.
[6] J verkuyl. Etika Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia). Hlm. 31-32.
[7] Louis Berkhof. doktrin manusia. (Suyabaya: Momentum. 2015).
Hlm. 48.
[8]Muriwali
Yanto Matalu. Dogmatika Kristen. (Malang. Gerakan Kebangunan Reformasi. 2017).
Hlm. 343.
[9]Ibid. Muriwali Yanto Matalu. Hlm. 343.
[10] Muriwali Yanto Matalu. Dogmatika Kristen.
(Malang: Gerakan Kebangunan Reformasi. 2017). Hlm. 346.
[11]
Vern S. Poythress. Menembus Sains.
(Surabaya: Momentum. 2013). Hlm. 164.
[12]Hendry C. Thiessen. Teologi Sistematika. (Malang. Gandum
Mas.1992). Hlm. 279-278.
[13] Vern S. Poythress. Menembus
Sains. (Surabaya: Momentum. 2013).
Hlm. 162.
[14]Ibid Hendriy C. Thiessen. Hlm.
0 komentar:
Post a Comment