claudiahei.blogspot.com
Walaupun kitab Ulanganmerupakan
kitab terakhir kitab Taurat, namun itu bukan berarti merupakan tambahan saja
sebagai kitab Ulangan sebagai kitab terakhir menempati tempat yang penting
dalam keutuhan kitab Taurat. Baxter menyatakan kesatuan lima kitab Taurat
demikian:
Pentateukh
merupakan Alkitab mini. Kejadian menceritakan tentang kejatuhan manusia dalam
dosa, Keluaran tentang kelepasan oleh darah dan kuasa, Imamat tentang
persekutuan berdasarkan penebusan, Bilangan tentang pimpinan menurut kehendak
Allah dan Bilangan tentang pimpinan menurut kehendak Allah dan Ulangan tentang
pemilihan oleh kasih setia Allah.
Di
kalangan orang Ibrani, kitab Ulangan disebut (alah ha debarim), artinya: 'inilah perkataan-perkataan'. Sering
kali juga diekenal dengan (misnah ha
torah) yang diambil dari perkataan dalam Ulangan 17:18. Sebuatan lain
adalah "shepher lokhahoth"
artinya 'buku nasehat/teguran'. Septuaginta menterjemahkan(copy of this law), dan Vulgata memakai istilah "Deuteronium" (deuteros artinya 'kedua', nomo artinya 'hukum').
Garis
besar pengajaran dalam kitab Ulangan nampak sebagai berikut:
1.
Kitab Peralihan
Disebut
sebagai kitab peralihan disebabkan 4 alasan, yaitu:
a.
Peralihan dari generasi tua (sejak
keluaran) kepada generasi baru. Generasi tua telah mati dan hanya tiga tokoh
yang disebutkan dalam kitab Ulangan, yakni Musa, Kaleb dan Yosua. Generasi yang
dilahirkan selama masa pengembaraan di padang gurun dipersiapkan untuk memasuki
tanah Kanaan.
b.
Peralihan kepada pemilikan yang baru,
yakni pengembara beralih dan menetap di tanah Kanaan.
c.
Peralihan kepada pengalaman (hidup)
yang baru, kemah akan diganti dengan rumah, kehidupan pengembaraan berubah
menjadi kehidupan menetap, makanan padang gurun akan diganti dengan susu, madu,
gandum dan anggur Kanaan.
d.
Peralihan kepada suatu penyataan Tuhan
kepada penyataan kasih-Nya, perkataan
tentang kasih Tuhan banyak terdapat dalam kitab Ulangan (4:37; 7:7-8;
23:5).
2.
Pengajaran Azasi dalam kitab Ulangan
a.
Fakta Azasi (psl. 1-5)
Dalam
bagian ini terdapat semua bagian Musa terhadap fakta azasi yang telah dialami
oleh Israel yang juga telah menjadi dasar pengajaran penting bagi kehidupan religius
bangsa Theokrasi. Segala pengalaman yang telah dialami bangsa Israel dengan
Tuhan menjadi dasar keyakian mereka terhadap Yahweh, Allah Yang Esa. Penegasan
tentang keyakinan terhadap Yahweh Yang Esa ditegaskan dalam rumusan sangat
penting, yakni "shema"
(dengarlah) hai Israel (Ul. 6:4-5).
Kata
Ibrani (shema) sinonim dengan kata "qashab" dapat diartikan
'perhatikanlah, berikan pendengaran' (azan), 'taatilah' merupakan perintah yang
harus didengar, dipahami, ditaati dan dilaksanakan dalam hidup bangsa Israel
bahwa Allah adalah Esa dan hanya Yahwelah yang harus dikasihi serta hanya
kepada-Nya Israel harus berbakti dan memberikan ibadahnya. Hal ini mengandung
makna religius sangat penting mengenai paham monoteistis dalam kehidupan bangsa
Israel.
Kata
"echad" untuk ke-Esa-an Allah dalam konsep Ibrani jelas menunjuk
kepada Allah Yang satu-satunya (Ul. 6:4-5), tidak ada yang dapat disejajarkan
dengan-Nya.
b.
Kebenaran Azasi
Dalam
Ul. 6:23 secara tersurat merupakan kesimpulan atas semua karya penebusan Israel
dari Mesir: "Tetapi kita dibawa-Nya keluar dari sini, supaya kita dapat
dibawa-Nya masuk untuk memberikan kepada kita negeri yang telah dijanjikan
dengan sumpah kepada nenek moyang kita". Dari pernyataan ini ada 3
kebenaran dalam peristiwa Allah memimpin Israel keluar dari Mesir, yaitu:
Pertama,
fakta historis "kita dibawa keluar", NASB menulis "And He brought us out" menggaris
bawahi tndakan Allah masa lampau dengan segala keajaiban / tindakan-Nya membawa
Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Bagi Israel, sejarah ini harus diingat
(bnd. Maksud perayaan paskah) sebagai landasan pengajaran yang sangat penting
akan segala maksud Allah, bahwa Israel harus keluar dari budaya dan lingkungan
religius Mesir kepada kehidupan religi dan sosial yang ditetapkan Allah.
Kedua, tujuan
peristiwa keluaran adalah membawa masuk Israel ke tanah Perjanjian. Suatu tanah
yang baru yang dikatakan berlimpah susu dan madu, suatu tempat penuh berkat
dimana Allah sendiri akan memerintah umat-Nya.
Ketiga, alasan
karya Allah di atas jelas bukanlah karena keistimewaan Israel dari bangsa lain,
melainkan Allah sendiri menepati janji-Nya kepada nenek moyang Israel untuk
menjadikan mereka bangsa yang besar dan diberkati, untuk menjadi terang kepada
bangsa-bangsa lain akan pengenalan terhadap Allah (bnd. Konsep sentrifugal).
c.
Tuntutan Azasi
Frase
"masa sekarang" (Ul. 10:12) menegaskan kewajiban azasi yang harus
dijalani oleh Israel setelah mengalami kebenaran azasi Allah, yakni:
Pertama,
takut akan Tuhan. Kata (yare)
diartikan sebagai rasa takut / hormat yang sangat positf terhadap Allah yang
dieksresikan dalam kemurnian moral, kemurnian ceremonial dan kemurnian etis
(perilaku).
Kedua, mengasihi Allah. Kata (ahab
artinya mengasihi) dalam konteks hubungan perjanjian Allah dengan Israel
mengungkapkan kasih yang tak terungkap dalam kata-kata melainkan nyata dalam
limpahan anugerah Allah terhadap umat-Nya.
Ketiga, senantiasa hidup menurut jalan yang
ditunjukkan-Nya. Kata Ibrani:(derek)
diartikan 'cara hidup' (way of life), kebiasaan-kebiasaan/adat istiadat da cara
berpikir (way of thinkhing).
Keempat, beribadah dengan segenap hati. Inilah
dasar terpentingdari ibadah Israel. Allah menghendaki ibadah dengan "hati
dan jiwa". Kata "leb" (hati) secara simbolis menunjuk kepada totalitas
kedalaman diri manusia. Demikian pula kata "nepesh" menunjuk kepada
kehidupan dan spirit. Dalam arah tersebut Calvin memberi komentar:
Allah
tidak memerintahkan orang mempersembahkan korban supaya pemuja-pemuja-Nya sibuk
dengan tugas-tugas duniawi. Sebaliknya, hal itu dilakukannya agar pikiran
mereka tertuju kepada hal-hal yang lebih mulia. Hal ini dapat dilihat secara
jelas dari sifat-Nya sendiri. Karena sifat -Nya rohani maka hanya ibadah
rohanilah yang menyukakan hati-Nya.
d.
Jaminan Azasi
Segala
syarat dan peraturan perjanjian di Sinai (Horeb) yang dulu telah diumumkan
kepada generasi tua, kini diulang kembali kepada generasi muda (Im. 26). Maksud
semuanya tersebut untuk memberikan jaminan kepada generasi muda bahwa
pelanggaran terhadap perjanjian akan berakibat hukuman yang berat.
Ul.
28 merupakan pengulangan ancaman hukuman, yaitu pencerai-beraian akan
kehancuran tanah Kanaan sehingga menjadi sunyi sepi (Im. 26:32-33; Ul.
28:63-68) yang akhirnya memang tergenapi. Namun demikian, perjanjian Sinai
bukanlah dasar perjanjian terakhir Allah dengan umat-Nya, sebab yang menjadi
dasar perjanjian kekal Allah adalah perjanjian dengan Abraham yang tak bisa
dibatalkan, karena telah dimeteraikan dengan darah dan diteguhkan dengan sumpah
Allah sendiri. Sehingga walaupun Israel pada akhirnya menerima hukuman Allah,
namun perjanjian-Nya dengan Abraham tidak pernah dibatal (Im. 26:33, 40, 42).
Hal ini ditegaskan lagi dengan tindakan Allah untuk menguhkan perjanjian
tersebut (Ul. 30:6). Hal serupa dicatat oleh Yeremia dalam Yer. 31:31-34.
0 komentar:
Post a Comment