Kitab Keluaran yang mencatat kisah
kehidupan Israel di Mesir dimulai dengan menyebutkan kembali anak-anak Israel
yang hijrah ke Mesir. Dalam kitab bangsa Yahudi, kalimat pertama dari kitab
Keluaran 1:1 menjadi judul dari kitab tersebut. Kata (ha eleh ayamut) diartikan 'inilah nama-nama'. Nama Keluaran dalam
bahasa Indonesia menurut versi LXX, yakni (excdos).
Penyebutan kembali anak-anak Israel menekankan sisi penting dari kitab Keluaran
sebagai laporan sejarah.
Kesengsaraan
Israel di Mesir
Latar belakang kesengsaraan Israel
di Mesir adalah kekuatiran raja Mesir terhadap perkembangan jumlah penduduk
Israel di Mesir (1:8). Perkembangan jumlah penduduk Israel di Mesir merupakan
indikasi penting akan penggenapan janji Allah kepada keturunan Abraham. Kata
(paru) yang diterjemahkan
'beranak cucu' memiliki arti dasar yang menunjuk kepada pertumbuhan pohon yang
sehat yang mengeluarkan buah yang lebat dan subur. Demikian juga kata (yishretsu) adalah ungkapan kata yang
dipakai untuk menggambarkan 'ikan yang berkeriapan' (kata yang sama juga
dipakai dalam Kejadian 1:20), sehingga dikatakan dalam negeri itu (tanah
Gosyen) dipenuhi mereka.
Kesengsaraan Israel di Mesir juga
merupakan sejarah penting karena mengenai hal ini Allah telah menubuatkannya
kepada Abraham (bnd. Kej. 15:13-14). Allah di dalam otoritas-Nya yang mutlak
menjadikan segala peristiwa untuk maksud-maksud yang mulia, karena peristiwa
ini akan menjadi latar belakang sejarah Israel sebagai bangsa Theokrasi
sekaligus menjadi latar belakang sejarah penyataan Allah melalui perbuatan-Nya
yang dahsyat yang langsung menjadi pelajaran sangat berharga kepada Israel dan
banyak bangsa akan keberadaan-Nya.
Penderitaan Israel nampak dalam
ungkapan ay. 13 "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa Israel bekerja.,
dan memahitkan hidup mereka ...". Kalimat "dengan kejam
dipaksakan" (ay. 14) dalam bahasa Ibrani (baabodah kasah) arti hurufiahnya
"cengkeraman perbudakkan yang sangat keras" merupakan keadaan hidup
menyeluruh bangsa Israel. Kata "baabodah
kasah" juga merupakan penekanan yang ekspresif tentang kehadiran Allah
sebagai pembebas Israel dari perbudakan Mesir. Hal ini juga sekaligus secara
teologis menggaris-bawahi konsep teologis Allah sebagai inisiator dalam
pelaksanaan perjanjian penebusan. Dalam
situasi yang sulit bagi bangsa Israel ini ada garis merah yang senantiasa
nampak, yakni campur tangan dan perlindungan Allah. Bidan-bidan yang disebut
dalam ayat 14 tidak berani membunuh anak-anak Israel sebab mereka adalah
orang-orang yang mengerti dan mentaati hukum Allah, secara khusus mengenai
pengharapan Allah terhadap darah manusia sebagai lambang hidup yang diberikan
kepada setiap manusia (bnd. Kej. 9:6).
Berkat Allah kepada bidan-bidan yang
telah menyelamatkan anak-anak Israel nampak dalam ekspresi dua kata, yaitu:
kata "membuat" (asah) bisa
diartikan "menetapkan" menunjuk kepada pengertian aktifitas Allah
secara kreatif untuk menetapkan atau mengerjakan sesuatu. Ekspresi ini juga
nampak dalam pemakaian Hakim-hakim 1:24, dengan kata "memperlakukan".
Allah memperlakukan kepada bian-bidan tersebut perbuatan-Nya sesuai iman dan
ketaatannya kepada kehendak-Nya. Hal ini juga menunjuk kepada pengertian bahwa
Allah berada di pihak orang-orang yang mentaati perintah-Nya.
Perlakukan Allah terhadap
bidan-bidan tersebut diekspresikan lebih jauh bahwa Allah membuat mereka
"berumah tangga". Kata “ " (bayith) memang bisa diartikan
"rumah tangga atau famili" yang merupakan pengungkapkan mengenai kehidupan
yang penuh damai, relax dan ketentraman rumah tangga.
Kelahiran Musa (psl.
2:1-10).
Mengenai
bayi Musa (2:2) memberikan penjelasn bahwa "anak itu cantik" 'ki tob hu' "bahwa ia adalah baik").
Hal ini mengartikan bahwa Musa dilahirkan bukan hanya sempurna dalam pengertian
bayi yang cantik secara fisik, namun lebih lanjut kalimat tersebut membawa
interpretasi bahwa bayi Musa menarik hati Allah. Dalam konteks cerita kelahiran
Musa, kelahirannya dicatat sebagai penekanan kepada otoritas pemilihan Allah
bagi Musa untuk menjadi tokoh yang kepadanya Allah akan melanjutkan penggenapan
sejarah penyelamatan-Nya. Nama Musa dalam bahasa Ibrani "Mosheh",
artinya "orang yang dilempar keluar dari air".
Keterlibatan
Musa terhadap keprihatinan Israel dikisahkan dalam pasal 2. Keterikatan hatinya
terhadap bangsanya nampak dalam ungkapan pasal 13, kata "teman"
(reyah) artinya bukan hanya "teman" melainkan lebih jauh diartikan
"yang dikasihi". Dalam konteks tertentu kata ini juga dipakai untuk
menyebut "suami / orang yang sangat dekat". Dalam hal ini sangat
jelas terlihat betapa besar campur tangan Allah terhadap Musa, bahwa walaupun
sebagian besar hidup masa mudanya berada di tengah budaya, agama serta
lingkungan Mesir, namun hatinya sebagai anggota umat perjanjian Allah tidak
pernah luntur. Demikian juga begitu kuatnya rasa penghayatan kerohanaian
keluarga Ibrani terhadap iman dan Allahnya sehingga memungkinkan mewariskan
secara demikian baiknya pengenalannya akan Allah terhadap anak-anak mereka.
Pelariannya
ke tanah Median (ay. 16) daerah yang diperkirakan berada di sebelah timur Laut
Merah yang tidak jauh dari gunung Sinai, menjadi tempat dan latar belakang
panggilan Allah terhadap Musa untuk menjadi alat-Nya. di Median, ia bertemu
dengan Rehuel dan kawin dengan Zipora, dan memiliki 2 orang anak, yaitu Gershom
yang secara literal berarti "orang asing" dan Eliezer (Kel. 18:4).
Pangillan Musa (Kel.
3:1-8; Kel. 6:2-8).
Dalam ayat 1, Yitro disebut mertua Musa.
Bahasa Ibrani untuk kata "mertua" adalah (chothan), diterjemahkan
'bapa dalam hukum' adalah suatu istilah yang menggambarkan ikatan hukum dalam
perkawinan. Ada kemungkinan bahwa Rehuel telah mati dan hubungan Musa. Rehuel
sebagai mertua diganti oleh Yitro sehingga Yitro (saudara Zipora) menggantikan
posisi ayahnya sebagai mertua secara hukum/adat perkawinan. Beberapa hal yang
sangat penting dalam konteks nats ini nampak sebagai berikut:
a.
Malaikat Tuhan
Kata
malaikat Tuhan (malach Yehovah)
menunjuk kepada representasi kehadiran Allah sendiri. Hal ini terlihat
pada ayat 4, "Malaikat
Tuhan" juga disebut TUHAN (YHWH) dan Allah (Elohim). Dia adalah pemberita
dimana melalui Dia kehadiran Allah dinyatakan. Dengan pemahamam bahwa
Allah adalah bebas untuk membuat
kehadiran-Nya dipahami manusia, walaupun dalam PL sulit untuk memisahkan
pengertian Malaikat Tuhan sebagai utusan Allah atau Allah sendiri. Maka tidak
terlalu berlebihan untuk memahami kehadiran Malaikat Tuhan sebagai kehadiran
Allah sendiri, sebab dalam beberapa kehadiran Allah dinyatakan dalam berbagai
bentuk. Kehadiran-Nya di samping menyampaikan maksud juga menghakimi dan
melindungi.
b.
Kehadiran Allah kepada Musa memiliki
maksud jelas dalam ayat 7-10, dan maksud Allah tersebut didahului penyataan
diri-Nya sebagai jaminan terhadap Musa. Repetisi "Akulah Allah
ayahmu", Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub (ay. 6) menggaris
bawahi pengertian adanya Allah yang sama yang telah menyatakan diri-Nya kepada
Musa dan juga telah menyatakan diri-Nya kepada leluhur Musa. Ini sekaligus juga
menjadi jaminan akan pengertian Allah perjanjian, Allah yang setia pada
janji-Nya dan terus menggenapi janji-Nya dalam sepanjang sejarah. Kalimat
"Akulah Allah ayahmu" menunjuk kepada identitas Allah sendiri.
Walaupun pada saat itu bangsa-bangsa lain juga percaya dan menyembah ilah (Eloah), namun demikian identitas
"Elohim" yang telah menyatakan kepada Musa adalah jelas, yakni
"Elohim-abi" (Allah ayah-ayahmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub).
Kedua
maksud Allah dalam kehadirannya kepada Musa dinyatakan, yakni:
·
Allah telah memperhatikan dengan
sungguh kesengsaraan Israel. Allah mengetahui dan mendengar seruan mereka,
Allah telah turun untuk melepaskan mereka.
·
Allah memilih Musa menjadi utusan-Nya.
Kalimat "Aku telah memperhatikan dengan sungguh" (raoh raithi) bukan hanya berarti Allah
Maha Tahu (omniscient) melainkan
Allah memandang dengan penuh iba sehingga mendorongnya untuk turun dan
melepaskan umat-Nya. Demikian juga tujuan penyelamatan Allah jelas yakni
membawa mereka ke tanah yang baik dan luas, negeri yang berlimpah susu dan
madunya, tanah orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi
dan orang Yebus.
Catatan
penting yang menjadi penekanan dalam penyataan Allah kepada Musa adalah penyataan
nama Allah "Aku adalah Aku" Eheyeh asher Eheyeh) telah banyak
menimbulkan interpretasi. Vulgata menerjemahkan "Ego sum quisum" (Aku adalah Aku), LXX menerjemahkannya dengan
“Ego Eimi ho On” (Aku yang Ada),
Yerusalem targum menerjemahkan "Dia
yang telah berfirman sehingga dunia jadi, yang telah berfirman sehingga semua
menjadi ada", Plato menterjemahkan "Oud ara onoma estin autou" (tidak ada nama yang dapat
menyatakan sifat Allah).
Penafsiran
yang dianggap tepat dari nama "Aku adalah Aku" ialah dengan
menelusuri kata "eheyeh" yang berasal dari kata (ha-wa) dimana sesuai
dengan konteks Musa diartikan sebagai kata kerja "ada" (Bhs. Ing. To be). Namun lebih jauh dalam Keluaran
34:6-7 nama "YHWH" menunjuk kepada esensi tabiat ilahi dimana Allah
sendiri menyatakan diri-Nya dalam karakter-Nya bahwa Ia adalah
"Yehovah" (Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah Perjanjian). El (Allah yang mengatasi segala
ilah), Rachum (pribadi yang penuh anugerah,
yang penuh kesabaran dan kelembutan), Channum
(pribadi yang penuh dengan kasih), Erech
appayim (pribadi yang panjang sabar, tidak mudah menyakiti), Rab (Maha Agung), Chesed (berlimpah kebijakan), Emeth
(sumber segala kebenaran), Noster chesed
(yang menunjukkan kasih setia dan rahmat dari generasi ke generasi), Nose avon vaphesha vechattaah (yang
telah menjauhkan segala pelanggaran dan dosa, Penebus, Maha-pengampun), Nakkeh
lo yenakkeh (Hakim yang benar, yang menghukum orang yang bersalah dengan
adil), poked avon (yang menghukum
orang yang melawan / melanggar).
Allah
yang dikenal sebagai YHWH (orang Ibrani membaca: Adonai, Tuhanku) adalah Allah
yang telah bekerja dalam sepanjang sejarah Patriakh (masa lampau, Kej. 3:15)
adalah Allah yang sedang memperhatikan kesengsaraan Israel (masa kini, Kel.
6:2-4) adalah Allah yang akan membawa Israel ke tanah Kanaan (masa yang akan
datang).
Penyataan
nama pokok Allah, yakni "Elohim"
(mis. Kej. 1:2-3) dan YHWH sama sekali tidak menunjuk kepada keyakinan
politheisme, ataupun proses perkembangan agama Politheisme kepada agama
Monotheisme (sebagaimana pandangan kaum Evolusionis), melainkan
menggaris-bawahi pemahaman Allah yang transendent (Yang Ilahi-Elohim) adalah
Allah yang imanent (Allah yanng telah menyatakan diri YHWH). Itulah sebabnya
berdasarkan pemahaman tersebut dalam bagian lain nama-nama Allah tersebut
digabungkan "TUHAN ALLAH" (Yehowah Elohim, 2 Sam. 5:10; Kel. 3:18;
6:6).
Ungkapan
kalimat dalam 3:15 merupakan jaminan kehadiran Allah di tangah-tengah bangsa Israel
bahwa nama "Yehowah Elohim" adalah nama Allah yang telah dikenal
sejak penciptaan dunia (Kej. 2:4) sampai hari ini, bahkan nama itu akan menjadi
nama abadi Allah, nama yang kekal (leolam) dan nama yang menjadi
"peringatan" Ledor dor,
nama untuk setiap peralihan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya
perihal panggilan dan pengutusan Musa ada studi kata yang menarik: dari kata
"siapakah" yang terdapat dalam 3:11 yang diucapkan oleh Musa dan kata
"siapakah" yang terdapat dalam 4:11 dimana di dalam kedua kata yang
nampaknya sama tersebut mengandung arti yang berbeda dan prinsipil. Kata
"siapakah" dalam bahasa Ibrani (mi)
dalam kedua ayat tersebut mengandung ekspresi penekanan yang berbeda. Kata “mi” yang terdapat dalam 3:11 yang
diucapkan oleh Musa adalah kata tanya (interogatif) afirmatif (yang menekankan)
kepada keadaan pribadi Musa dimana ia sungguh merasa tidak mampu untuk
melakukan tugas yang diberikan Allah kepadanya. Melalui kata tanya afirmatif
(yang tidak memerlukan jawaban).
Dalam
konteks yang sama, kata "mi"
afirmatif tersebut juga dipakai dalam nats-nats lain dalam Alkitab, mis. 2 Taw. 2:6; 2 Sam. 7:18
untuk menekankan kesadaran diri si penanya tentang keberadaan yang terbatas,
lemah bahkan kesadaran akan dosa dan pelanggaran.
Namun
demikian ada pemahaman yang bertolak belakang dari pemakaian kata tanya
afirmatif (yang menekankan pertanyaan dan tidak membutuhkan jawaban) yang
terdapat dalam Keluaran 4:11, dimana dalam konteks ini kata tersebut menekankan
arti untuk tidak meragukan Tuhan. Kata tersebut menekankan hakekat Allah yang
"Omnipotent" yang berkuasa
dan mampu melakukan segala kehendak-Nya. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah
sendiri bahwa Ia akan menyertai Musa. Kalimat "Aku akan menyertai lidahmu
..." (ay. 12) secara literal dapat dikatakan "Aku dan firman-Ku akan
menyertai perkataan dari mulutmu”. Di sini jelas terlihat akan kuasa firman
Allah yang dinamis.
Dari
studi kata tersebut akan nampak kebenaran dalam konsep kenabian Israel bahwa
seorang nabi adalah manusia biasa, ia bukan manusia ilahi sebagaimana konsep
manusia sakti melainkan kenabiannya ditentukan oleh penyertaan firman Allah
sendiri dalam hidupnya. Tanpa penyertaan firman Allah maka seorang nabi tidak
lebih dari manusia biasa yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Prinsip akan nampak
dalam seluruh Alkitab bahwa manusia-manusia Allah yang menjadi subjek segala
pekerjaan yang besar dan yang harus menjadi objek dari segala pusat perhatian,
pusat penyembahan, dan pusat pengabdian umat manusia. Itulah sebabnya juga,
penolakan Musa terhadap panggilan dan penguasaan Allah mendatangkan murka
Allah, karena perkataan yang bersifat seruan "ah" dalam ayat 13
adalah ekspresi ketidak-percayaan dirinya serta ketidak-keyakinannya akan kuasa
Allah yang telah dijanjikan. Kalimat "bangkitlah murka Tuhan ..."
(ay. 14) secara literal dapat diartikan "maka wajah Allah menyala
..." sebagai ekspresi ketidak-sukaan Allah terhadap sikap Musa.
2.
Perilah Sepuluh Tulah
Garis
besar pengajaran mengenai tulah Allah terhadap Mesir terdapat dalam arti kata
"tangan" (yad) Allah
terhadap Mesir (Kel. 5:24, dst). Kata "yad"
dalam bahasa tersebut merupakan arti simbolis untuk kuasa, kekuatan sehingga
tulah dimaksudkan agar eksistensi Allah diakui. Peristiswa tulah juga merupakan
ajang demonstrasi perlawanan kuasa Allah dan kuasa rohani orang Mesir.
Pernyataan
Allah mengenai tulah Mesir harus dipahami secara benar (bnd. Kel. 4:21). Kata
"mengeraskan" (chazak) secara literal dapat diartikan 'menambah
kuat'. Memang telah menimbulkan banyak interpretasi yang merugikan yang tidak
didukung oleh seluruh kebenaran Alkitab.
Dalam
arah ini kita melihat bahwa tulah diberikan Allah setelah tanda-tanda (mujizat)
dinyatakan sebagai peringatan dan hukuman dijatuhkan setelah tanda-tanda
peringatan tidak diindahkan. Pasal 5 merupakan tanda-tanda, pasal 6 menegaskan
pengutusan Musa untuk menjatuhkan hukuman / tulah kepada Mesir. Secara positif,
kata yang sama dipakai dalam kitab Yosua 1:7, 23; 3:6. Dengan membandingkan
kedua konteks tersebut (antara Firaun dan Yosua) akan dapat diambil kesimpulan
bahwa posisi hati membawa akibat yang besar, bahwa pertobatan akan membawa
(meneguhkan) kesetiaan kepada Allah, sedangkan hati yang menolak peringatan dan
anugerah Allah bisa jadi akan menjadi bertambah keras. Dalam kasus Firaun
nampak bahwa ia berkarakter melawan, sombong dan ganas (Kel. 1:2; 5:2; 7:13).
Kalimat "kemudian bangkitlah raja Mesir ..." (1:8) merupakan indikasi
waktu yang lama Israel mengalami penderitaan kekejaman raja Mesir.
Namun
di balik peristiwa tersebut Allah pada akhirnya ingin menyatakan kebaikan-Nya
kepada kedua bangsa ini. Kepada Mesir melalui tanda-tanda mujizat dan
tulah-tulah, Allah hendak menyatakan bahwa ilah yang mereka percaya serta
Firaun dan kekuatannya tidak mampu melawan Allah Israel, merupakan suatu
pertobatan. Sedangkan kepada Israel Allah memberi jaminan dan eksistensinya
dimana Israel dipersiapkan menjadi bangsa yang Theokrasi sekaligus Israel akan
menjadi umat yang mengenal Allah sebagai terang bagi bangsa lain yang mencari
Allah.
Dalam
pasal 4:24-31, ada peristiwa penting dimana Musa hendak dibunuh oleh Tuhan, hal
ini terjadi disebabkan Musa belum menyunat anak-anaknya, sehingga hal ini
dianggap sebagai pelanggaran sunat bagi Musa dan keluarganya mereka terhisap ke
dalam perjanjian penebusan dengan Allah dan syarat secara lahir yang tidak
dapat dihindari adalah sunat, sebagai penegasan perjanjian dengan memotong
korban (karat berit, Kel. 4:25; bnd. Kel. 17:9).
0 komentar:
Post a Comment